Allahumma Sholli 'aala Rosulika Sayyidina wa Habibina wa Syafi'ina wa Juhrina wa Barkatina ya Maulana Muhammad

Kamis, 19 Juli 2012


SAYYID UMAR BIN AHMAD BIN SALIM AIDID (1343-1421 H )

Assayyid Assholeh Salim Al Baal Shofi Al Hal Umar bin Ahmad bin Salim Aidid tinggal di Mekah Al Mukaromah, dilahirkan di Wadi Aidid salah satu wadi dipinggiran kota Tarim tahun 1343 H. Ibunya anak dari Assayyid Alwi bin Ahmad Assegaf Asshofi. Sayyid Umar Aidid hidup atas didikan orang tuanya. Ayahnya wafat ketika beliau berumur 10 tahun, lalu diasuh oleh kakaknya yang tertua bernama Idrus, sehingga beliau hafal Al-Qur’an dan sebagian matan.

Kemudian beliau belajar ilmu dari beberapa guru, salah satunya Al Habib Muhammad bin Hasan Aidid yang mengawinkan anak perempuannya. Allah memberikan kemudahan belajar dengannya, beliau membaca dan mendapat ijazah kitab "Tuhfatul Mustafiid". Selain belajar kitab tersebut dengan Habib Muhammad bin Hasan Aidid, beliau juga belajar dengan Habib Abdullah bin Umar Syatiri, Habib Abdulbari bin Syekh Al Aydrus, dan Habib Alwi bin Abdullah bin Syahabuddin. Beliau sangat senang mempelajari dan melazimkan didalam majelisnya membaca kitab Tuhfatul Mustafiid. Hatinya selalu diliputi cinta kepada Habib Alwi, dan selalu menyebutkan kebaikannya serta sering menyebutkan keadaannya. Begitu juga beliau belajar dengan Habib Musthafa bin Ahmad Al Muhdhor, Habib Muhammad bin Hadi Assegaf, dan Umar bin Abdullah Al Habsyi. Sayyid Umar Aidid juga belajar kepada Sayyidul Walid Ali bin Abubakar Al Masyhur, belajar kitab "Al-Mukhtashor Asshoghir" karya Bafadol, keduanya mempunyai ikatan yang dekat dan bersahabat, karena dua hal :

Ada unsur pernikahan pada anak Al-Habib Muhammad bin Hasan Aidid.

Assayyid Muhammad bin Abubakar Al Masyhur menikahi saudara perempuan Sayyid Umar Aidid, namanya Fatimah.

Guru-guru beliau yang lainnya adalah Assayyid Alwi Al Maliki Al Hasani, Assayyid Muhammad Amin Kutubi Al Hasani, Assayid Hasan Fad’aq, Assyekh Hasan Sa’id Yamani, Assayyid Muhammad Sholeh Al Muhdhor, Assayyid Abubakar Atthas Al Habsyi, Assayyid Abdul Qadir Assegaf, Assyekh Muhammad Nur Seif, Assayyid Muhammad Al Haddar, Assyekh Hasan Al Masyath, dan lainnya, semoga Allah meridhoi mereka.

Assayyid Umar Aidid mengajar dirumahnya didaerah Al Amirah di Balad Al Haram hingga wafat. Murid-murid beliau datang dari berbagai penjuru, satu diantara mereka Assyekh Muhammad Ismail Azzain.
Assayyid Umar Aidid pernah pergi ke Afrika (Assawahil) pada tahun 1364 H, untuk berdakwah dan memberi petunjuk ilmu selama satu tahun, kemudian kembali ke Tarim.

Assayyid Umar Aidid bertemu dengan pengarang kitab Assayyidul Walid Habib Ali bin Abubakar Al Masyhur di Mekah Al Mukaromah setelah Assayyid Walid keluar Yaman, keduanya berganti-ganti melakukan kunjungan. Assayyid Umar pernah tinggal di Mekah tahun 1371 H, dan bekerja di Haromain sebagai penulis. Dan tinggal di Madinah di Rubat Anas bin Malik, kemudian bekerja di Mekah. Pada waktu liburan resmi sering ziarah ke Hadhramaut, tekun menghadiri majelis-majelis di Mekah, salah satunya majelis Habib 'Athas Habsyi. Assayyid Umar Aidid mencintainya, selalu datang dan takjub dengan buah pikirannya. Assayyid Umar Aidid terkena bermacam penyakit diantaranya penyakit diabetes sampai salah satu kakinya diamputasi sehingga duduk di kursi roda selama hidupnya.

Habib Ali bin Abubakar Al Masyhur terus berkunjung kepada Sayyid Umar Aidid di Mekah dan Jeddah. Pernah Habib Ali berkunjung kerumahnya pada bulan Jumadil Tsani 1418 H, Habib Ali dan yang hadir mendapatkan ijazah dan dibacakan Fatihah buat yang hadir. Habib Ali membaca kitab Tuhfatul Mustafiid didepannya kemudian diijazahkan oleh Sayyid Umar Aidid dengan ijazah yang telah diijazahkan oleh pengarang kitab.

Kitab yang dikarangnya adalah Al Fajru Al Jadid (dalam tulisan tangan). Beliau mempunyai beberapa catatan-catatan atas beberapa kitab yang pernah beliau ajarkan. Dan telah meninggalkan perpustakaan yang ada pada anaknya Assayyid Abdul Qadir.

Assayyid Umar Aidid wafat pada hari Senin diwaktu fajar tanggal 26/12/1421 H dalam usia 78 tahun. Di makamkan diwaktu Ashar dipekuburan Ma’la dan meninggalkan 4 orang anak perempuan, 2 diantaranya wafat sewaktu kecil, dan 3 orang anak laki-laki, yaitu:

Muhammad, menetap di Tarim

Abdul Qadir, menetap di Mekah

Ahmad (wafat terlebih dahulu).

Sumber: himpunan-aidid.org 
http://shoeap.blogspot.com/2010/09/sayyid-umar-bin-ahmad-bin-salim-aidid.html

Selasa, 26 Juni 2012

Masjid Sultan Suriansyah

Masjid Sultan Suriansyah adalah salah satu masjid bersejarah dan tertua di Kalimantan Selatan. Masjid ini dibangun pada masa pemerintahan Sultan Suriansyah, yakni pada tahun 1526-1550 M. Sultan Suriansyah adalah Raja Kerajaan Banjar pertama yang memeluk agama Islam. Masjid ini letaknya berdekatan dengan komplek makam Sultan Suriansyah dan di seberangnya terdapat Sungai Kuin.

Dilihat dari bentuk arsitektur dan konstruksi panggungnya yang beratap tumpang, menandakan bahwa masjid ini bergaya tradisional Banjar. Masjid bergaya tradisional Banjar memiliki ciri pada bagian mihrabnya beratap sendiri dan terpisah dengan bangunan induk.

Bentuk asli masjid ini dapat dilihat pada 2 buah inskripsi yang tertulis pada bidang berbentuk segi delapan berukuran 50 cm x 50 cm, yang terletak di dua daun pintu Lawang Agung. Pada daun pintu sebelah kanan terdapat 5 baris inskripsi Arab-Melayu berbunyi : " Ba'da hijratun Nabi Shalallahu 'alahihi wassalam sunnah 1159 pada Tahun Wawu ngaran Sultan Tamjidillah Kerajaan dalam Negeri Banjar dalam tanah tinggalan Yang mulia." Sedangkan pada daun pintu sebelah kiri terdapat 5 baris inskripsi Arab-Melayu berbunyi: "Kiai Damang Astungkara mendirikan wakaf Lawang Agung Masjid di Nagri Banjar Darussalam pada hari Isnain pada sapuluh hari bulan Sya'ban tatkala itu (tidak terbaca)".


Foto disebelah adalah inskripsi pada daun pintu sebelah kanan dan
foto disebelah kiri adalah inskripsi di pintu sebelah kiri.

Kedua inskripsi ini menunjukkan bahwa pada hari Senin tanggal 10 Sya'ban 1159 telah berlangsung pembuatan Lawang Agung (renovasi masjid) oleh Kiai Demang Astungkara pada masa pemerintahan Sultan Tamjidillah I (1734-1759).

Dua daun pintu tersebut kini tidak lagi terpasang untuk menjaganya dari usia. Meskipun demikian, dua daun pintu tersebut tetap dipajang dalam sebuah bingkai kaca yang terletak di samping kanan-kiri mimbar. Sebagai gantinya, dibuatkan replika yang sama persis dengan dun pintu asli, baik dari bahan, warna maupun motif ukurannya. Baik daun pintu yang asli maupun replikanya terpasang tanpa menggunakan engsel. Dua daun pintu tersebut dipasang hanya dengan menggunakan pengait yang menonjol di bagian ujung daun pintu. Ada banyak versi ceita mistik yang menggambarkan bagaimana pintu tersebut bisa terpasang.

Pada mimbar yang terbuat dari kayu ulin juga terdapat pelengkung mimbar dengan kaligrafi berbunyi "Allah Muhammadarasulullah". Pada bagian kanan atas mimbar terdapat tulisan "Krono Legi : Hijrah 1296 bulan Rajab hari Selasa tanggal 17", sedang pada bagian kiri terdapat tulisan : "Allah subhanu wal hamdi al-Haj Muhammad Ali al-Najri".

Kesan yang pertama dan kental dari masjid peninggalan Pangeran Suriansyah ini adalah ornamen dan kaligrafi Arab yang menghiasi hampir di setiap jengkal bangunan ini. Saat Pertama kali pengunjung memasuki kompleks masjid, pemandangan ornamen khas Banjar yang didominasi oleh motif flora dan fauna akan segera menyapa, yakni mulai dari beranda hingga dinding-dinding yang memisahkan alam luar dengan ruangan induk dalam masjid.

Pada 17 pintu yang ada, contohnya, di setiap daun pintu dibuat ventilasi yang bermotif kaligrafi shahadat. Begitu pula empat tiang utama di ruang dalam, diberikan sentuhan ornamen, bahkan sampai pada ujung-ujungnya yang menghubungkan dengan langit-langit.

Masjid Sultan Suriansyah ini telah mengalami beberapa kali pemugaran. Dari pemugaran dan rehabilitasi tersebut yang terbesar dilakukan pada tahun 1999. Yang paling mendasar dari pemugaran ini adalah menjadikan pondasi dari pancangan kayu galam dan neut beton sebagai konstruksinya. Memang, konstruksi ini berbeda dengan konstruksi asli masjid, namun pemugaran tersebut harus dilakukan untuk menghindari kerusakan struktur pondasi masjid dari kerapuhan. Oleh karena itu pemugaran ini tetap didasarkan pada analisis literatur.

Untuk struktur lainnya seperti tiang dan atap bangunan utama dikembalikan ke bentuk asli yaitu menggunakan kayu ulin. Teknik pengerjaannya pun dilakukan oleh tenaga profesional. Atap ini berbentuk limas tumpang tiga dengan bahan sirap. Atap bagian mihrab juga dikembalikan ke bentuk limas segi enam sedangkan untuk atap bagian serambi berbentuk limas segi empat. Atap-atap ini dilengkapi dengan pataka berbentuk waluh dan jamang melati pada setiap ujung atap dan pilisnya.


Bentuk Kubah Masjid Sultan Suriansyah

Untuk bagian salasar yang merupakan bangunan tambahan, atapnya dipugar dengan menggunakan daag beton. Sementara lisplank pada bagian salasar dibuat dari beton bertulang dan dilapis dengan papan ulin yang diolah dalam bentuk tradisional.

Tiang utama masih menggunakan bahan yang asli, hanya diperbaiki pada bagian yang sudah keropos dengan cara menambalnya kemudian membungkusnya dengan omamen kayu ulin berbentuk persegi kotak. Sedangkan bangunan teras konstruksinya diganti dengan beton bertulang.

Begitu pula untuk bangunan atap yang sebelum dipugar tahun 1999 ini masih berbentuk kubah dikembalikan ke bentuk asal yaitu atap limas tumpang tiga. Denah masjid pun diubah untuk perbaikan arah kiblat yang mengalami sedikit pergeseran.

Untuk bagian dalam masjid, lantainya menggunakan papan ulin yang dipasang di atas gelagar ulin, sedangkan pada bagian luarnya menggunakan papan ulin yang diberi pola mozaik sebagai permukaannya yang dipasang di atas plat beton. Bagian dinding dasar menggunakan kayu ulin sedangkan bagian dalamnya menggunakan kayu. Bentuk atap nyatoh. Kayu jenis ini mempunyai keindahan tersendiri dalam hal guratannya hingga menyerupai kayu jadi. Pemasangan papan dilakukan sesuai teknik tradisional yaitu pemasangan secara vertikal atau berdiri. Plafon adalah bagian menentukan lainnya, digunakan bahan kayu nyatoh sehingga senada dengan bagian dinding. Plafon dipasang pada reng atap, agar kasau-kasau pada bagian atap bisa terlihat oleh jamaah yang berada dalam masjid.

Sesuai dengan pintu yang asli, maka pintu dalam rencana rehabilitasi ini juga masih menggunakan as poros sebagai engsel pintu. Sementara sunduk lawang (grendel) terbuat dari kayu ulin yang juga dilengkapi dengan watun dari ulin. Jumlah pintu seluruhnya terdiri dari17 pasang. Pada tiap sisi dinding terdiri dari lima pasang pintu yaitu pada sisi timur, utara dan selatan. Sementara itu, pada dinding bagian mihrab atau barat hanya ada dua pintu yaitu sisi kanan dan kiri mihrab.

Pada bagian tengah ruang utama, plafon dilengkapi dengan ukiran tradisional serta kaca warna. Untuk bagian mihrab, plafon juga diperindah dengan bentuk ukiran. Kusen dan pintu dibuat dengan mengikuti pola ornamen pada pintu asli yaitu menggunakan segi delapan di tengahnya, kemudian bagian atas dan bawah ornamennya berupa garis-garis vertikal.

Tiap pintu dilengkapi dengan ventilasi berupa ukiran kaligrafi dan papan krapyak pada bagian bawahnya. Tiang utama atau pilarnya menggunakan tiang yang asli, yang telah diperbaiki. Tiang ini kemudian diperindah dengan berbagai ukiran. Untuk tiang-tiang lain bagian dalam terbuat dari kayu yang juga diberi ukiran. Tiang untuk bagian salasar menggunakan neut beton yang dilapis sebagian dengan kayu ulin berukir. Begitu pula pagar bagian salasar menggunakan ulin dengan omamen bayam, sedangkan kepala pagar dilengkapi dengan omamen manggis.

Seperti masjid pada umumnya masjid bersejarah Sultan Suriansyah juga diwarnai ornamen dan kaligrafi yang menunjukkan kekhasan daerah Banjar. Tepat hari Jumat tanggal 3 September 1999, proyek pemugaran dan pengembangan masjid bersejarah Sultan Suriansyah, dimulai. Peletakan batu pertama dilakukan oleh Gubernur Kalimantan Selatan Drs H Gusti Hasan Aman, seusai shalat Jumat berjamaah.

Sebagai salah satu benda cagar budaya di Kalsel, Masjid Sultan Suriansyah yang asli tidak boleh diubah. Sementara pengembangan dan perluasan pada bagian-bagian lain, diperbolehkan secara terpisah. Demikian pula penggunaan bahan bangunan, harus sama dengan versi asli bangunan masjid. Kalau semula menggunakan kayu ulin, maka dalam pemugaran harus menggunakan kayu ulin. Arsiteknya juga disesuaikan aslinya, paling tidak mirip dan tidak jauh berbeda, sehingga mencerminkan eorak dan warna aslinya.

Pola ruang pada Masjid Sultan Suriansyah merupakan pola ruang dari arsitektur Masjid Agung Demak yang diadospsi dan dibawa bersamaan dengan masuknya agama Islam ke daerah ini oleh Khatib Dayan. Oleh karena mengadopsi arsitektur Masjid Demak, Masjid Sultan Suriansyah juga masih menyisakan pengaruh Jawa Kuno pada masa kerajaan Hindu. Identifikasi pengaruh arsitektur tersebut tampil pada tiga aspek pokok dari arsitektur Jawa Hindu yang dipenuhi oleh masjid tersebut.

Tiga aspek tersebut adalah: atap meru, ruang keramat (cella) dan tiang sokoguru yang melingkupi ruang cella. Meru merupakan ciri khas atap bangunan suci di Jawa dan Bali. Bentuk atap yang bertingkat dan mengecil ke atas merupakan lambang vertikalitas dan orientasi hierartik kekuasaan ke atas. Bangunan yang dianggap paling suci dan penting memiliki tingkat atap paling banyak dan paling tinggi. Ciri atap meru tampak pada Masjid Sultan Suriansyah yang memiliki atap bertingkat sebagai bangunan terpenting di daerah tersebut. Bentuk atap yang besar dan dominan memberikan kesan lega di ruang yang terletak di bawahnya. Ruang ini merupakan ruang suci (keramat) yang biasa disebut cella. Pada dinding cella tersebut juga terdapat ukiran keliling bermotif tulisan 99 asmaul husna.

Sementara itu, tiang sokoguru adalah tiang-tiang yang melingkupi ruang cella (ruang keramat). Ruang cella yang dilingkupi tiang-tiang guru terdapat di depan ruang mihrab, yang berarti secara kosmologi cella lebih penting dari mihrab.

Masjid Sultan Suriansyah ini sebagian besar terbuat dari bahan kayu ulin. Jenis kayu ini akan semakin kuat bila terendam oleh air. Menurut Penjaga Masjid Sultan Suriansyah, Anwar, setiap minggu selalu ada warga negara asing yang datang berkunjung ke masjid tertua di Kalimantan itu. Selain berziarah, para pengunjung tersebut juga ingin melihat langsung bangunan masjid yang memiliki keindahan dan keunikan tersendiri. Warga negara asing yang datang tak hanya dari negara-negara Islam, tapi juga warga negara dari Benua Eropa. Warga negara asing yang sering datang kesini umumnya berasal dari Malaysia, Brunai Darussalam, Jepang, Jerman, Australia dan Amerika Serikat.

Saat melihat masjid yang bersejarah itu, umumnya pengunjung merasa kagum melihat empat tiang besar yang menjadi sokoguru bangunan utama masjid itu.
Di pintu masjid ini juga terukir cerita sejarah tentang persaudaraan antara Kerajaan Demak dengan Kerajaan Banjar. Konon kabarnya, Kerajaan Demak menyatakan kesediaannya membantu Kerajaan Banjar menyelesaikan persoalan dengan Raja Daha yang merupakan paman Sultan Suriansyah. 

Keistimewaan lain Masjid Suriansyah ini terdapat pada mimbarnya. Selain usianya yang telah mencapai 200 tahun, mimbar masjid ini dibuat oleh Haji Muhammad Ali Al Banjari. Di mimbar ini terdapat hiasan ukiran bunga dan tahun pembuatan. Saat ini, mimbar yang berbahan kayu ulin itu terlihat masih kuat dan kokoh dan dimanfaatkan sebagai tempat khatib menyampaikan khotbah Jumat, Idul Fitri dan Idul Adha.


Ruang tambahan masjid yang dibuat menyatu dengan desain asli
Masjid Sultan Suriansyah. Ruang ini selalu jamaah bila bulan Ramadhan datang

Setiap Ramadhan tiba, masjid yang terletak di tepi Sungai Kuin itu selalu dipenuhi jamaah, tak hanya warga sekitar namun juga warga dari daerah lain. Oleh karena untuk menampung jamaah tersebut, pengurus masjid membangun bagian tambahan di sekitar masjid. Tambahan tersebut tetap berorientasi pada struktur dan pola hiasan dari bangunan induk, sehingga terkesan bangunan tambahan tersebut tetap menyatu dengan sejarah Masjid Sultan Suriansyah.
Masjid Jami Tuhfaturroghibin (Mesjid Kanas)


Masjid Jami' Tuhfaturroghibin atau lebih populer dengan nama Masjid Kanas adalah sebuah masjid bersejarah yang berlokasi di kawasan Alalak Tengah, Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Masjid menjadi khas karena terdapat hiasan buah nenas. Lantaran berarsitektur Timur Tengah campur Banjar, sekilas masjid ini mirip Masjid Jami Sungai Jingah. Masjid ini menjadi simbol kebanggaan warga Alalak, warga yang dikenal asli Banjar.


Sejarah
Masjid ini dibangun pada 11 Muharram 1357 Hijriyah, sejarah salah satu masjid kuno ini tak lepas dari jasa seorang ulama Alalak, H. Marwan bin H.M. Amin. H. Marwan dikenal sebagai ulama sufi dan konon merupakan keturunan ke-4 Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari atau Datuk Kelampayan. Atas jasa H. Marwan, konon masjid yang hingga sekarang masih mempertahankan keaslian empat soko gurunya tersebut berdiri kokoh.
Awalnya, masjid ini tidak berlokasi di Alalak Tengah. Dulu, sebelum dibangun, Masjid Kanas sempat didirikan di Desa Tatah Masjid, Alalak, Barito Kuala. Dari sinilah nama Masjid Kanas diabadikan. Karena jumlah jamaah terus bertambah dan akses menuju kampung dianggap sulit, akhirnya seluruh tokoh dan masyarakat Alalak, kala itu, menyekapati memindahkan masjid dari desa Tatah Masjid ke Alalak Tengah.
Lokasi yang dipilih tepat di berada pertigaan arus sungai, arah Marabahan, Kapuas dan Muara Kuin (Barito). Di atas eks kuburan muslim dan waqaf, Masjid Kanas dibangun gotong royong. Diceritakan, saat pemancangan tiang utama masjid inilah yang membikin decak kagum warga Alalak. Pasalnya, kayu ulin yang begitu besar dan panjang bisa didirikan hanya dengan dua bilah bambu.
Untuk mendapatkan kayu ulin, panitia mencarinya di hutan pedalaman Kalimantan dan diangkut sampan. Karena letak masjid berada di daratan, maka untuk memudahkan pengangkutan, warga membuat sungai kerokan, sebagai landasan mengangkut kayu besar itu.
Alhasil, di Saka Dengen (sebutan warga untuk anak sungai) perbatasan RT 14 dan 15, Kelurahan Alalak Tengah, dibuat terusan menuju masjid. Dengan sungai kecil itu, kayu ulinnya bisa diangkat ke darat dan langsung didirikan.
Saat pendirian kayu ulin, hampir semalam suntuk H. Marwan melakukan "tawaf", berkeliling masjid. Dengan ritual khusus, dan dibantu alat takal dan bambu, ulin sebagai soko guru pun bisa didirikan tegak. Dan proses pembangunan masjid pun dimulai.
Sejak berdiri, Masjid Kanas sudah berganti 11 kaum (penjaga masjid) dan badan pengelola. Di saat masjid dikelola K.H. Jahri Simin dan Abdul Malik Marwan, rehabilitas dan renovasi terus digenjot. Dan, atas bantuan pengusaha Alalak yang sukses di Surabaya, bahan material bangunannya tak pernah putus.
Seriring itu, bagian bangunan banyak berubah. Meski begitu, mimbar berukir, tiang utama dan simbol Kanas tetap dipertahankan. Ini dilakukan agar kekhasan masjid tetap terjaga. Dan, perubahan nama Masjid Kanas menjadi Masjid Jami Tuhfaturroghibin adalah mengutip nama kitab karangan Datuk Kalampayan sekitar awal tahun 1980-an.

Arsitektur
Masjid Kanas terbilang unik. Kubahnya dibuat bulat dan terlihat berundak-undak. Tiang utama terbuat dari kayu ulin berdiameter 40 x 40 meter.
Bila ditilik dari sejarahnya peletakan Buah Kanas di puncak Masjid (songkol) belum ada. Pada masa itu dipuncaknya dipasang Bintang Bulan. Namun karena suatu hal (ditiup angin kencang), songkol masjid tersebut patah dan jatuh. Sehingga sebagai gantinya dipasanglah Tajau Belanga sumbangan dari H. Jumain yang dipasang terbalik. Setelah itu, ternyata dinilai tidak artistik, sehingga akhirnya disepakati dibuat daun Nenas yang terbuat dari seng tebal dan dipasang menyerupai daun Nanas (Buah Kanas).
Di masa pendudukan Jepang, Masjid Kanas konon termasuk tertua keempat, setelah Masjid Sultan Suriansyah, Masjid Agung Al-Karomah Martapura dan Masjid Jami Sei Jingah. Pada awalnya, kubah masjid tidak berbentuk bundaran. Bentuknya limas lancip (tahun 1934). Setelah diadakan perubahan desain pada tahun 1972, akhirnya bentuk Masjid Kanas diidentikkan dengan Masjid Jami Sungai Jingah. Hal tersebut dilakuan (perubahan terakhir) pada tahun 1980 hingga sekarang.
Nama "Tuhfaturroghibin" pun sebagai nama resmi masjid ini diambil dari judul sebuah buku karangan ulama besar Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, usulan dari KH. Muhammad Jahri Simin. Pemberian nama ini, dilakukan pada masa kepengurusan Guru H. Abdul Malik Marwan (Tahun 1980). Nama ini dipilih, setelah diberikan beberapa alternatif nama yang diusulkan. Penentuan dan pemilihan nama dilakukan secara musyawarah mufakat.
Masjid Ba'angkat


Mesjid Su’ada atau Mesjid baangkat didirikan oleh Al Allamah Syekh H. Abbas dan Al Allamah Syekh H. Said bin Al Allamah Syekh H. Sa’dudin pada tanggal 28 Zulhijjah 1328 H bersamaan dengan tahun 1908 M yang terletak di desa Wasah Hilir Kecamatan Simpur yang jaraknya ± 7 km dari kota Kandangan. Mesjid ini didirikan di atas tanah wakaf milik Mirun bin Udin dan Asmail bin Abdullah seluas 1047,25 m persegi.


Bentuk bangunan induk mesjid su’ada yakni persegi empat, bertingkat tiga, mempunyai loteng menutup gawang/puncah dan petala/petaka yang megah. Semua itu memunyai makna tertentu sebagai berikut:a. Tingkat pertama mengandung makna Syariatb. Tingkat kedua mengandung makna Thariqatc. Tingkat ketiga mengandung makna Hakikatd. Loteng mengandung makna Ma’rifate. Petala/petaka yang megah berkilauan yang dihiasi oleh cabang-cabang yang sdang berbunga dan berbuah melambangkan kesempurnaan Ma’rifatBanyak peristiwa yang terjadi seolah-olah aneh, tidak rasional tapi nyata ketika akan dan sedang dalam pembangunan Mesjid tersebut, seperti angina topan bertiup luar biasa keras dan derasnya yang menyebabkan sebatang pohon asam yang besar telah condong sekali akan minmpa rumah Al Allamah Syekh H. M. Said (pendiri Mesjid Su’ada). Dilihat kejadian ini, Al Allamah tersebut mendekati pohon tersebut dan mendorongnya dengan berlawanan arah, maka dengan pertolongan Allah SWT angin topan yang dahsyat itu berbalik arah sehingga pohon asam ini tumbang dan selamatlah ulama tersebut.Kejadian lain yakni salah satu tiang utama Mesjid kurang panjang ± 10 cm, sehingga mengalami kesulitan untuk pendirian bangunan Mesjid. Dengan izin Allah, keesokkan harinya tiang tersebut menjadi bertambah panjang sesuai kebutuhan. Peristiwa lainnya, yakni ditengah perjalanan antara Kalumpang dan Negara, rombongan Al Allamah Syekh H. M. Said kehabisan ikan untuk makan, tiba-tiba seekor ikan besar melompat ke perahu mereka dan akhirnya mereka mempunyai ikan untuk makan bersama. Kejadian lainnya yakni rombongan tersebut pada malam hari di perahu tidak bisa tidur karena kenyamukan, tiba-tiba dengan pertolongan Allah SWT, ternyata nyamuk tersebut menghilang, sehingga rombongan Al Allamah Syekh H. M. Said dapat tidur.

Aristektur
Bentuk bangunan induk masjid su’ada yakni persegi empat, bertingkat tiga, mempunyai loteng menutup gawang/puncah dan petala/petaka yang megah. Semua itu memunyai makna tertentu sebagai berikut:

- Tingkat pertama mengandung makna Syariat

- Tingkat kedua mengandung makna Thariqat

- Tingkat ketiga mengandung makna Hakikat
- Loteng mengandung makna Ma’rifat
Petala/petaka yang megah berkilauan yang dihiasi oleh cabang-cabang yang sedang berbunga dan berbuah melambangkan kesempurnaan Ma’rifat.

Masjid Pusaka Banua Lawas adalah sebuah masjid tua yang terletak di kecamatan Banua Lawas, Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. Masjid ini juga sering disebut Masjid Pusaka Pasar Arba karena pada hari rabu (arba), jumlah para pengunjung/peziarah lebih banyak dari hari-hari yang lain.
Di masjid tertua di Kabupaten Tabalong yang "dikeramatkan" itu, selain menjadi tempat ibadah, juga menjadi tonggak atau bukti sejarah diterimanya Islam bagi suku Dayak di Tabalong.
Masjid ini ramai dikunjungi atau diziarahi umat Islam, termasuk dari Kaltim. Di Masjid Pusaka ini, selain masih tersimpan beduk asli dan petaka sepanjang 110 cm. Keberadaannya sejak masjid dibangun tahun 1625 masehi yang diprakarsai Khatib Dayan dan saudaranya Sultan Abdurrahman (dari Kesultanan Banjar yang berpusat di Kuin). Khatib Dayan dibantu tokoh-tokoh masyarakat Dayak, juga Datu Ranggana, Datu Kartamina, Datu Saripanji, Langlang Buana, Taruntung Manau, Timba Sagara, Layar Sampit, Pambalah Batung dan Garuntung Waluh.

Peninggalan
Di teras depan Masjid Pusaka, ada dua tajau (guci tempat penampungan air yang dulunya digunakan suku Dayak untuk memandikan anak yang baru lahir). Kendati diterpa atau disengat matahari, namun dua tajau yang usianya mencapai 400 tahun itu tak berubah warnanya.
Di samping masjid terdapat pekuburan warga setempat sejak dahulu dan salah satu yang mencolok adalah bangunan (kubah) yang merupakan makam pejuang Banjar bernama Penghulu Rasyid.
PONDOK PESANTREN PUTERA IBNUL AMIN

Pondok Pesantren Putera Ibnul Amin adalah sebuah pondok pesantren yang terletak di desa Pamangkih, kecamatan Labuan Amas Utara, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, Indonesia. Pondok Pesantren Ibnul Amin Pamangkih didirikan secara resmi pada tanggal 11 Mei 1959 M / 22 Syawal 1378 H. Pendirinya adalah seorang ulama dari masyarakat Pamangkih yang bernama K.H.Mahfuz Amin bin Tuan Guru H. Muhammad Ramli bin Tuan Guru H. Muhammad Amin.

Sejarah

K.H. Mahfuz Amin, tokoh penting dalam pendirian Pesantren Pamangkih.

Cita-cita untuk mendirikan Pondok Pesantren oleh KH.Mahfuz Amin berawal dari melihat pendidikan agama atau pengajian yang diselenggarakan di langgar-langgar terlalu memakan waktu. Di mana seseorang untuk bisa menamatkan Ibnu Aqil dalam bidang Nahwu / Syaraf atau menamatkan Fathul Mu’in dalam bidang Fiqih, ia harus belajar puluhan tahun. Di samping itu,ia juga melihat para santri atau pelajar yang tinggal di langgar kadang-kadang melebihi kapasitas tampung langgar yang dihuni, sehingga mengakibatkan langgar sebagai tempat belajar juga sebagai tempat tidur, tempat makan dan bahkan kadang-kadang sebagai tempat memasak.

Hal lain lagi adalah ia melihat seorang Tuan Guru (Kyai) kurang memberikan kesempatan kepada muridnya yang lebih pandai untuk bisa menerapkan ilmunya dengan mengajar kitab-kitab kecil kepada murid-murid yang pelajarannya lebih rendah. Dengan demikian akibatnya seorang Tuan Guru terlalu lelah, karena dari kitab yang paling kecil hingga kitab yang paling besar terpaksa Tuan Guru sendirian yang mengajarkannya kepada seluruh muridnya. Dari beberapa hal tersebut itulah, timbul keinginan dari K.H. Mahfuz Amin untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan agama yang efektif sebagai upaya mencerdaskan ummat, khususnya generasi penerus bangsa. Atas wasiat almarhum orang tuanya yaitu Tuan Guru H. M. Ramli yang mewasiatkan untuk lebih memajukan pelajaran pelajaran agama, juga atas nasihat dan petunjuk dari seorang gurunya KH. Abu Bakar Tambun, agar beliau mendirikan pondok pesantren.

Maka pada tanggal 23 Oktober 1958 (8 Shafar 1378 H) didirikanlah sebuah pondok pesantren yang waktu itu dikenal dengan nama Pondok Hulu Kubur. Nama Pondok Hulu Kubur tidak tertulis di papan nama, hanya mendapat sebutan di lidah orang umum. Nama Pondok Hulu Kubur tidak lama dipakai sebagai nama terhadap pesantren yang baru lahir ini, karena pendirinya yaitu KH. Mahfuz Amin telah mendapatkan sebuah nama pilihan yaitu “Ibnul Amin”. Nama Ibnul Amin tersebut dipilih sebagai penghormatan kepada almarhum kakek KH. Mahfuz Amin sendiri. Karena KH. Mahfuz Amin sebagai pendiri dan pendidik di pondok pesantren ini telah mendapatkan ilmu dari ayahnya yaitu Tuan Guru H.M. Ramli, sedangkan ayahnya juga belajar dari orang tuanya yaitu Tuan Guru H.M. Amin. Oleh karena itulah pesantren diberi nama Ibnul Amin yaitu sebagai peringatan terhadap kakeknya yang telah berjasa kepada orang tuanya dan KH. Mahfuz Amin sendiri.

Pengelolaan Pondok Pesantren Ibnul Amin pada mulanya ditangani langsung oleh KH. Mahfuz Amin sendiri yang dibantu oleh beberapa orang santri senior. Setelah KH. Mahfuz Amin meninggal tahun 1994 (1415 H), kepemimpinan pondok pesantren sampai sekarang dipercayakan kepada KH. Muchtar HS, yaitu seorang muridnya yang merupakan santri Ibnul Amin angkatan pertama.

Perkembangan Pondok Pesantren

Sejak berdirinya Pondok Pesantren Putera Ibnul Amin secara resmi pada tanggal 11 Mei 1959 / 22 Syawal 1378, KH. Mahfuz Amin sebagai pencetus dan pendiri sekaligus sebagai pengasuh dan pengajar selalu berusaha untuk mengembangkannya dan membesarkannya, baik fisik maupun sistem pendidikan dan pengajarannya. Di awal berdirinya, Pondok Pesantren Putera Ibnul Amin hanya memiliki 12 kamar asrama untuk tempat mukim 9 orang santri, dengan fisik bangunan yang sangat sederhana yang di malam hari diterangi lampu minyak tanah. Sedangkan kegiatan belajar mengajar masih dilakukan di rumah KH. Mahfuz Amin. Pada tahun 1959 Pondok Pesantren Putera Ibnul Amin membangun 4 lokal belajar dan dua ruang kecil untuk tamu dan kantor. Sejak itu kegiatan belajar mengajar dipindahkan dari rumah pribadi KH. Mahfuz Amin ke tempat baru ini. Kemudian dengan bertambahnya santri baru, asrama yang ada sudah tidak mampu menampungnya. Maka pada tahun 1960, kembali dibangun sebuah asrama dua tingkat (dua lantai) dari bahan kayu yang cukup besar dan dapat menampung santri lebih banyak. Dengan demikian segala kegiatan pesantren sudah dapat dilaksanakan dalam satu lingkungan komplek, kecuali salat berjamaah yang masih dilaksanakan di langgar Tuan Guru H.M. Ramli (ayah KH. Mahfuz Amin).

Dari keinginan KH. Mahfuz Amin agar segala bentuk kegiatan harus berada dalam satu kawasan demi untuk mempermudah pengawasan terhadap kedisiplinan santri dalam segala aspek kehidupan mereka, kemudian dibangun Mushalla kecil berukuran 10 m X 10 m dari bahan kayu. Berkat semagat yang tinggi untuk membangun dan ketekunan KH. Mahfuz Amin serta atas kerja sama yang baik dengan semua pihak, pada tahun 1972 komplek Pondok Pesantren Putera Ibnul Amin berdiri dengan beberapa banguanan asrama yang terdiri dari 52 kamar, 2 buah rumah guru, satu mushalla berukuran 10 m X 10 m. Pada waktu itu santri yang mukim sebanyak 251 dengan 16 orang guru.

Santri

Santri yang mukim dan belajar di Pondok Pesantren Putera Ibnul Amin Pamangkih pada tahun 2005 berjumlah 1400 orang santri. Mereka berasal dari berbagai daerah di Kalimantan, seperti Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Utara, Tabalong, Tapin, Banjarmasin, Kotabaru, Marabahan, Sampit, Kapuas, Palangkaraya, Pontianak, Samarinda, Balikpapan, Tenggarong dan daerah-daerah lain. Disamping itu banyak juga santri yang berasal dari luar pulau Kalimantan, seperti dari Sulawesi, Jawa Timur, Sumatera Selatan, Jambi dan lain-lain.

Jumat, 22 Juni 2012

RIWAYAT SINGKAT ABAH GURU SEKUMPUL

oleh Rachma Mahabbatul Auliya pada 29 April 2012 pukul 13:45 ·
Perubahan Anda sudah disimpan.

ABAH GURU SEKUMPUL

Nama beliau, al-‘Ālim al-‘Allāmah al-‘Ārif billāh as-Syaikh Maulana Muhammad Zaini bin al-‘Ārif billāh Abdul Ghani bin Abdul Manaf bin Muhammad Seman bin Muhammad Sa’ad bin Abdullah bin al-Mufti Muhammad Khalid bin al-‘Ālim al-‘Allāmah al-Khalifah Hasanuddin bin al-‘Ālim al-‘Allāmah al-‘Ārif billāh as-Syaikh Maulana Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari 



Abah Guru Sekumpul dilahirkan pada malam Rabu 25 Muharram 1361 Hijriyah atau bertepatan dengan tanggal 11 Februari 1942 di desa Dalam Pagar (sekarang masuk ke dalam kecamatan Martapura Timur, Kabupaten Banjar) dari pasangan suami-istri al-‘Ārif billāh Abdul Ghani bin H. Abdul Manaf dengan Hj. Masliah binti H Mulya, merupakan anak pertama dari dua bersaudara, adik beliau bernama H Rahmah. Ketika masih kanak-kanak, beliau dipanggil Qusyairi.



Masa kecil dan pendidikan

Abah Guru Sekumpul sejak kecil selalu berada di samping ayah dan nenek beliau yang bernama Salbiyah. Kedua orang ini yang memelihara beliau ketika kecil. Sejak kecil keduanya menanamkan kedisiplinan dalam pendidikan. Beliau dididik dengan penuh kasih sayang dan disiplin dalam pendidikan, sehingga di masa kanak-kanak beliau sudah mulai ditanamkan pendidikan Tauhid dan Akhlaq oleh ayah dan nenek beliau. Beliau belajar membaca Alquran dengan nenek beliau. Dengan demikian guru pertama dalam bidang ilmu Tauhid dan Akhlaq adalah ayah dan nenek beliau sendiri.Sejak kecil beliau sudah termasuk dari salah seorang yang mahfuzh, yaitu suatu keadaan yang sangat jarang sekali terjadi, kecuali bagi orang-orang yang sudah dipilih oleh Allah SWT.

Beliau adalah salah seorang anak yang mempunyai sifat-sifat dan pembawaan yang lain daripada anak-anak yang lainnya, di antaranya adalah bahwa beliau tidak pernah ihtilam.

Semenjak kecil beliau sudah digembleng orang tua untuk mengabdi kepada ilmu pengetahuan dan ditanamkan perasaan cinta kasih dan hormat kepada para ulama.

Meskipun kehidupan kedua orang tua beliau dalam keadaan ekonomi yang sederhana, namun mereka selalu memperhatikan untuk turut membantu dan meringankan beban guru yang mengajar anak mereka membaca Alquran, sehingga setiap malamnya beliau selalu membawa bekal botol kecil yang berisi minyak tanah untuk diberikan kepada guru yang mengajar Alquran.

Abah Guru Sekumpul sewaktu kecil sering menunggu al-Ālim al-Fadhil Syaikh Zainal Ilmi yang ingin ke Banjarmasin hanya semata-mata untuk bersalaman dan mencium tangan ulama tersebut.



Guru guru Beliau

Pada tahun 1949 saat berusia kurang dari 7 tahun, Abah Guru Sekumpul mengikuti pendidikan “formal” masuk ke Madrasah Ibtidaiyah Darussalam, Martapura. Kemudian tahun 1955 pada usia 13 tahun, beliau melanjutkan pendidikan ke Madrasah Tsanawiyah Darussalam, Martapura. Pada masa ini Abah Guru Sekumpul sudah belajar dengan guru-guru besar spesialis dalam bidang keilmuan seperti : 



Guru-guru ‘Alimul’allamah Al ‘Arif Billah Asy-Syekh H. M. Zaini Abdul Ghani, antara lain adalah:

1. Di tingkat Ibtida adalah:

Guru Abdul Mu’az, Guru Sulaiman, Guru Muh. Zein, Guru H. Abdul. Hamid Husin, Guru H. Mahalli, Guru H. Rafi’i, Guru Syahran, Guru H. Husin Dakhlan, Guru H. Salman Yusuf

2. Di tingkat Tsanawiyah adalah:

‘Alimul Fadhil H. Sya’rani’Arif, ‘Alimul Fadhil H, Husin Qadri, ‘Alimul Fadhil H. Salilm Ma’ruf, ‘Alimul Fadhil H. Seman Mulya, ‘Alimul Fadhil H. Salman Jalil.

3. Guru di bidang Tajwid ialah:

‘Alimul Fadhil H. Sya’rani ‘Arif, ‘Alimul Fadhil Al Hafizh H. Nashrun Thahir, ‘Al-Alim H. Aini Kandangan.

4. Guru Khusus adalah:

‘Alimul’allamah H. Muhammad Syarwani Abdan Bangil, ‘Alimul’allamah Asy Syekh As Sayyid Muhammad Amin Qutby. Sanad sanad dalam berbagai bidang ilmu dan Thariqat, antara lain diterima dari:

Kyai Falak Bogor (Abah Falak), ‘Alimul’allamah Asy-Syekh Muhammad Yasin Padang (Mekkah), ‘Alimul’allamah Asy-Syekh Hasan Masysyath, ‘Alimul’allamah Asy- Syekh Isma’il Yamani dan ‘Alimul’allamah Asy-Syekh Abdul Qadir Al-Baar.

5. Guru pertama secara Ruhani ialah:

‘Alimul ‘allamah Ali Junaidi (Berau) bin ‘Alimul Fadhil Qadhi H. Muhammad Amin bin ‘Alimul ‘allamah Mufti H. Jamaluddin bin Syekh Muhammad Arsyad, dan ‘Alimul ‘allamah H. Muhammad Syarwani Abdan (Bangil). Kemudian ‘Alimullailamah H. Muhammad Syarwani Abdan menyerahkan kepada Kyai Falak Bogor dan seterusnya Kyai Falak menyerahkan kepada ‘Alimul’allamah Asy-Syekh As-Sayyid Muhammad Amin Qutby, kemudian beliau menyerahkan kepada Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari yang selanjutnya langsung dipimpin oleh Rasulullah Saw. Atas petunjuk ‘Alimul’allamah Ali Junaidi, beliau dianjurkan untuk belajar kepada ‘Alimul Fadhil H. Muhammad (Gadung Rantau) bin ‘Alimul Fadhil H. Salman Farisi bin ‘Allimul’allamah Qadhi H. Mahmud bin Asiah binti Syekh Muhammad Arsyad, untuk mengenal masalah Nur Muhammad; maka dengan demikian di antara guru beliau tentang Nur Muhammad antara lain adalah ‘Alimul Fadhil H. M. Muhammad tersebut di atas.



al-Ālim al-Allāmah Syaikh Seman Mulya adalah paman beliau yang secara intensif mendidik beliau baik ketika berada di sekolah maupun di luar sekolah. Ketika mendidik Abah Guru Sekumpul, Guru Seman hampir tidak pernah mengajarkan langsung bidang-bidang keilmuan itu kepada beliau kecuali di sekolahan. Akan tetapi, Guru Seman langsung mengajak dan mengantarkan Abah Guru Sekumpul mendatangi tokoh-tokoh yang terkenal dengan sepesialisasi masing-masing baik di daerah Kalimantan Selatan maupun di Jawa untuk belajar. Seperti misalnya ketika ingin mendalami Hadits dan Tafsir, Guru Seman mengajak (mengantarkan) Abah Guru Sekumpul kepada al-Ālim al-Allāmah as-Syaikh Anang Sya’rani yang terkenal sebagai muhaddits dan ahli tafsir. Menurut Abah Guru Sekumpul sendiri, dikemudian hari ternyata Guru Tuha Seman Mulya adalah pakar di semua bidang keilmuan Islam itu. Tapi karena kerendahan hati dan tawadhu tidak ingin menampakkan diri.



Sedangkan al-Ālim al-Allāmah Salman Jalil adalah pakar ilmu falak dan ilmu faraidh yang sudah diakui ketinggian dan kedalamannya ilmunya. Selain itu, Guru Salman Jalil juga adalah Qhadi Qudhat Kalimantan dan salah seorang tokoh pendiri IAIN Antasari Banjarmasin. Guru Salman Jalil ini pada masa tuanya kembali berguru kepada Abah Guru Sekumpul. Peristiwa ini yang ia contohkan kepada generasi sekarang agar jangan sombong, dan lihatlah betapa seorang guru yang alim besar tidak pernah sombong di hadapan kebesaran ilmu pengetahuan, meski yang sekarang sedang menyampaikannya adalah muridnya sendiri.



Selain itu, di antara guru-guru Abah Guru Sekumpul lagi selanjutnya :

al-Ālim al-Allāmah al-‘Ārif billāh as-Syekh Muhammad Syarwani Abdan Bangil
al-Ālim al-Allāmah al-‘Ārif billāh as-Syaikh as-Sayyid Muhammad Amin Kutbi

Kedua tokoh ini biasa disebut Guru Khusus beliau, atau meminjam perkataan beliau sendiri adalah Guru Suluk (Tarbiyah al-Shufiyah).



Dari beberapa paguruan Abah Guru Sekumpul lagi adalah :

Kyai Falak (Bogor)
Syaikh Yasin bin Isa Padang (Makkah)
Syaikh Hasan Masyath
Syaikh Ismail al-Yamani
Syaikh Abdul Kadir al-Bar



Sedangkan guru pertama secara ruhani :

al-Ālim al-Allāmah Ali Junaidi (Berau) bin al-Ālim al-Fadhil Qadhi Muhammad Amin bin al-Ālim al-Allāmah Mufti Jamaludin bin Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari
al -Ālim al-Allāmah Muhammad Syarwani Abdan Bangil

Pengaruh kehidupan keluarga

Gemblengan ayah dan bimbingan intensif paman beliau semenjak kecil betul-betul tertanam. Semenjak kecil Abah Guru Sekumpul sudah menunjukkan sifat mulia; penyabar, ridha, pemurah, dan kasih sayang terhadap siapa saja. Kasih sayang yang ditanamkan dan juga ditunjukkan oleh ayah beliau sendiri. Seperti misalnya, suatu ketika hujan turun deras, sedangkan rumah Abah Guru Sekumpul sekeluarga waktu itu sudah sangat tua dan reot. Sehingga air hujan merembes masuk dari atap-atap rumah. Saat waktu itu, ayah beliau menelungkupi beliau untuk melindungi tubuh beliau dari hujan dan rela membiarkan dirinya sendiri tersiram hujan.

Abdul Ghani bin Abdul Manaf, ayah dari Guru Sekumpul juga adalah seorang pemuda yang saleh dan sabar dalam menghadapi segala situasi dan sangat kuat dengan menyembunyikan derita dan cobaan. Tidak pernah mengeluh kepada siapapun. Cerita duka dan kesusahan sekaligus juga merupakan intisari kesabaran, dorongan untuk terus berusaha yang halal, menjaga hak orang lain, jangan mubazir, bahkan sistem memenej usaha dagang beliau sampaikan kepada generasi sekarang lewat cerita-cerita itu.



Beberapa cerita yang diriwayatkan adalah sewaktu kecil mereka sekeluarga yang terdiri dari empat orang hanya makan satu nasi bungkus dengan lauk satu biji telur, dibagi empat. Tak pernah satu kalipun di antara mereka yang mengeluh. Pada masa-masa itu juga, ayah beliau membuka kedai minuman. Setiap kali ada sisa teh, ayah beliau selalu meminta izin kepada pembeli untuk diberikan kepada Qusyairi. Sehingga kemudian sisa-sisa minuman itu dikumpulkan dan diberikan untuk keluarga.



Adapun sistem mengatur usaha dagang, ayah Guru Sekumpul menyampaikan bahwa setiap keuntungan dagang itu mereka bagi menjadi tiga. Sepertiga untuk menghidupi kebutuhan keluarga, sepertiga untuk menambah modal usaha, dan sepertiga untuk disumbangkan. Salah seorang ustadz setempat pernah mengomentari hal ini, “bagaimana tidak berkah hidupnya kalau seperti itu.” Pernah sewaktu kecil Abah Guru Sekumpul bermain-main dengan membuat sendiri mainan dari gadang pisang. Kemudian sang ayah keluar rumah dan melihatnya. Dengan ramah sang ayah menegurnya, “Nak, sayangnya mainanmu itu. Padahal bisa dibuat sayur.” Abah Guru Sekumpul langsung berhenti dan menyerahkannya kepada sang ayah.



Kelebihan

Beberapa catatan lain berupa beberapa kelebihan dan ‘keanehan’ Abah Guru Sekumpul adalah sudah hafal Al-Qur'an semenjak berusia 7 tahun. Kemudian hapal tafsir Jalalain pada usia 9 tahun. Semenjak kecil, pergaulan beliau betul-betul dijaga. Kemana pun bepergian selalu ditemani. Pernah suatu ketika Abah Guru Sekumpul ingin bermain-main ke pasar seperti layaknya anak sebayanya semasa kecil. Saat memasuki gerbang pasar, tiba-tiba muncul pamannya, Syaikh Seman Mulya di hadapannya dan memerintahkan untuk pulang. Orang-orang tidak ada yang melihat Syekh, begitu juga sepupu yang menjadi ”bodyguard”-nya. Abah Guru Sekumpul pun langsung pulang ke rumah.



Dalam usia kurang lebih 10 tahun, sudah mendapat khususiat dan anugerah dari Tuhan berupa Kasyaf Hissi yaitu melihat dan mendengar apa-apa yang ada di dalam atau yang terdinding. Dan dalam usia itu pula beliau didatangi oleh seseorang bekas pemberontak yang sangat ditakuti masyarakat akan kejahatan dan kekejamannya. Kedatangan orang tersebut tentunya sangat mengejutkan keluarga di rumah beliau. Namun apa yang terjadi, laki-laki tersebut ternyata ketika melihat beliau langsung sungkem dan minta ampun serta memohon untuk dikontrol atau diperiksakan ilmunya yang telah ia amalkan, jika salah atau sesat minta dibetulkan dan diapun minta agar supaya ditobatkan.

Mendengar hal yang demikian beliau lalu masuk serta memberitahukan masalah orang tersebut kepada ayah dan keluarga, di dalam rumah, sepeninggal beliau masuk kedalam ternyata tamu tersebut tertidur. Setelah dia terjaga dari tidurnya maka diapun lalu diberi makan dan sementara tamu itu makan, beliau menemui ayah beliau dan menerangkan maksud dan tujuan kedatangan tamu tersebut. Maka kata ayah beliau tanyakan kepadanya apa saja ilmu yang dikajinya. Setelah selesai makan lalu beliau menanyakan kepada tamu tersebut sebagaimana yang dimaksud oleh ayah beliau dan jawabannva langsung beliau sampaikan kepada ayah beliau. Kemudian kata ayah beliau tanyakan apa lagi, maka jawabannyapun disampaikan beliau pula. Dan kata ayah beliau apa lagi, maka setelah berulang kali di tanyakan apa lagi ilmu yang ia miiki maka pada akhirnya ketika beliau hendak menyampaikan kepada tamu tersebut, maka tamu tersebut tatkala melihat beliau mendekat kepadanya langsung gemetar badannya dan menangis seraya minta tolong ditobatkan dengan harapan Tuhan mengampuni dosa-dosanya.

Pernah rumput-rumputan memberi salam kepada beliau dan menyebutkan manfaatnya untuk pengobatan dari beberapa penyakit, begitu pula batu-batuan dan besi. Namun kesemuanya itu tidaklah beliau perhatikan dan hal-hal yang demikian itu beliau anggap hanya merupakan ujian dan cobaan semata dari Allah SWT.



Pada usia 9 tahun pas malam jumat Abah Guru Sekumpul bermimpi melihat sebuah kapal besar turun dari langit. Di depan pintu kapal berdiri seorang penjaga dengan jubah putih dan di gaun pintu masuk kapal tertulis “Sapinah al-Auliya”. Abah Guru Sekumpul ingin masuk, tapi dihalau oleh penjaga hingga tersungkur. Abah Guru Sekumpul pun terbangun. Pada malam jum’at berikutnya, beliau kembali bermimpi hal serupa. Dan pada malam jumat ketiga, Abah Guru Sekumpul kembali bermimpi serupa. Tapi kali ini beliau dipersilahkan masuk dan disambut oleh salah seorang syekh. Ketika sudah masuk beliau melihat masih banyak kursi yang kosong.

Ketika Abah Guru Sekumpul merantau ke tanah Jawa untuk mencari ilmu, tak disangka tak dikira orang yang pertama kali menyambutnya dan menjadi guru adalah orang yang menyambutnya dalam mimpi tersebut.

Dalam usia 14 tahun, atau tepatnya masih duduk di Kelas Satu Tsanawiyah, beliau telah dibukakan oleh Allah Swt atau futuh, tatkala membaca ayat: Wakanallahu syami’ul bashiir.

‘Alimul’allamah Al-’Arif Billah Asy-Syekh H. M. Zaini Abdul Ghani, sejak kecilnya hidup di tengah keluarga yang shalih, maka sifat-sifat sabar, ridha, kitmanul mashaib, kasih sayang, pemurah dan tidak pemarah sudah tertanam dan tumbuh subur di jiwa beliau; sehingga apapun yang terjadi terhadap diri beliau tidak pernah mengeluh dan mengadu kepada orang tua, sekalipun beliau pernah dipukuli oleh orang-orang yang hasud dan dengki kepadanya. Beliau adalah seorang yang sangat mencintai para ulama dan orang orang yang shalih, hal ini tampak ketika beliau masih kecil, beliau selalu menunggu tempat tempat yang biasanya ‘Alimul Fadhil H. Zainal Ilmi lewati pada hari-hari tertentu ketika hendak pergi ke Banjarmasin semata-mata hanya untuk bersalaman dan mencium tangan tuan Guru H. Zainal Ilmi.

Di masa remaja ‘Alimul ‘allamah Al ‘Arif Billah Asy-Syekh H. M Zaini Abdul Ghani pernah bertemu dalam rukyah (mimpi) dengan Saiyidina Hasan dan Saiyidina Husien (cucu Nabi Saw) yang keduanva masing-masing membawakan pakaian dan memasangkan kepada beliau lengkap dengan sorban dari lainnya. Dan beliau ketika itu diberi nama oleh keduanya dengan nama Zainal ‘Abidin. Setelah dewasa, maka tampaklah kebesaran dan keutamaan beliau dalam berbagai hal dan banyak pula orang yang belajar. Para Habaib yang tua-tua, para ulama dan guru-guru yang pernah mengajari beliau, karena mereka mengetahui keadaan beliau yang sebenarnya dan sangat sayang serta hormat kepada beliau.

‘Alimul ‘allamah Al ‘Arif Billah Asy-Syekh H. M. Zaini Abdul Ghani adalah seorang ulama yang menghimpun antara wasiat, thariqat dari haqiqat, dan beliau seorang yang hafazh Alquran beserta hafazh tafsirnya, yaitu tafsir Alquran Al-’Azhim lil-Imamain Al-Jalalain. Beliau seorang ulama yang masih termasuk keturunan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan menghidupkan kembali ilmu dan amalan-amalan serta thariqat yang diamalkan oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Karena itu majelis pengajian beliau, baik majelis ta’lim maupun majelis ‘amaliyahnya di Komplek Raudah Sekumpul seperti majelis Syekh Abdul Kadir al-Jailani.

Sifat lemah lembut, kasih sayang, ramah tamah, sabar, dan pemurah sangatlah tampak pada diri beliau, sehingga beliau dikasihi dan disayangi oleh segenap lapisan masyarakat, sahabat dan anak murid. Kalau ada orang yang tidak senang melihat akan keadaan beliau dan menyerang dengan berbagai kritikan dan hasutan maka beliaupun tidak pernah membalasnya. Beliau hanya diam dan tidak ada reaksi apapun, karena beliau anggap mereka itu belum mengerti, bahkan tidak mengetahui serta tidak mau bertanya.

Tamu-tamu yang datang ke rumah beliau, pada umumnya selalu beliau berikan jamuan makan, apalagi pada hari-hari pengajian, seluruh murid murid yang mengikuti pengajian yang tidak kurang dari 3.000-an, kesemuanya diberikan jamuan makan. Sedangkan pada hari hari lainnya diberikan jamuan minuman dan roti.

Beliau adalah orang yang mempunyai prinsip dalam berjihad yang benar-benar mencerminkan apa apa yang terkandung dalam Alquran, misalnya beliau akan menghadiri suatu majelis yang sifatnya dakwah Islamiyah, atau membesarkan dan memuliakan syi’ar agama Islam. Sebelum beliau pergi ke tempat tersebut lebih dulu beliau turut menyumbangkan harta beliau untuk pelaksanaannya, kemudian baru beliau datang. Jadi benar-benar beliau berjihad dengan harta lebih dahulu, kemudian dengan anggota badan. Dengan demikian beliau benar-benar mengamalkan kandungan ayat Alquran yang berbunyi: Wajaahiduu bi’amwaaliku waanfusikum fii syabilillah.

‘Alimul ‘allamah Al ‘Arif Billah Asy-Syekh H. M. Zaini Abdul Ghani adalah satu-satunya Ulama di Kalimantan, bahkan di Indonesia yang mendapat izin untuk mengijazahkan (bai’at) thariqat Sammaniyah, karena itu banyaklah yang datang kepada beliau untuk mengambil bai’at thariqat tersebut, bukan saja dari Kalimantan, bahkan dari pulau Jawa dan daerah lainnya.

‘Alimul’allamah Al ‘Arif Billah Asy Syekh H. M. Zaini Abdul Ghani dalam mengajar dan membimbing umat tidak mengenal lelah dan sakit. Meskipun dalam keadaan kurang sehat, selama masih mampu, beliau masih tetap mengajar dan memberi pengajian.

Dalam membina kesehatan para peserta pengajian dalam waktu-waktu tertentu beliau datangkan dokter spesialis untuk memberiikan penyuluhan kesehatan sebelum pengajian dimulai, seperti dokter spesialis jantung, paru paru, THT, mata, ginjal, penyakit dalam, serta dokter ahli penyakit menular dan lainnya. Dengan demikian beliau sangatlah memperhatikan kesehatan para peserta pengajian dan kesehatan lingkungan tempat pengajian.

Berbagai karomah (kelebihan) telah diberikan oleh Allah kepada beliau. Ketika beliau masih tinggal di Kampung Keraton (Martapura), biasanya setelah selesai pembacaan maulid, beliau duduk-duduk dengan beberapa orang yang masih belum pulang sambil bercerita tentang orang orang tua dulu yang isi cerita itu untuk dapat diambil pelajaran dalam meningkatkan amaliyah.

Tiba tiba beliau bercerita tentang buah rambutan, pada waktu itu masih belum musimnya; dengan tidak disadari dan diketaui oleh mereka yang hadir beliau mengacungkan tangannya kebelakang dan ternyata di tangan beliau terdapat sebiji buah rambutan yang masak, maka heranlah semua yang hadir melihat kejadian akan hal tersebut. Dan rambutan itupun langsung beliau makan.

Ketika beliau sedang menghadiri selamatan dan disuguhi jamuan oleh shahibul bait (tuan rumah) maka tampak ketika, itu makanan, tersebut hampir habis beliau makan, namun setelah piring tempat makanan itu diterima kembali oleh yang melayani beliau, sesudah dilihat, ternyata makanan yang tampak habis itu masih banyak bersisa dan seakan-akan tidak pernah dimakan oleh beliau.

Pada suatu musim kemarau yang panjang, di mana hujan sudah lama tidak turun sehingga sumur-sumur sudah hampir mengering, maka cemaslah masyarakat ketika itu dan mengharap agar hujan bisa segera turun. Melihat hal yang demikian banyak orang yang datang kepada beliau mohon minta doa beliau agar hujan segera turun, kemudian beliau lalu keluar rumah dan menuju pohon pisang yang masih berada di dekat rumah beliau waktu itu, maka beliau goyang-goyangkanlah pohon pisang tersebut dan ternyata tidak lama kemudian, hujanpun turun dengan derasnya.

Ketika pelaksanaan Haul Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari yang ke 189 di Dalam pagar Martapura, kebetulan pada masa itu sedang musim hujan sehingga membanjiri jalanan yang akan dilalui oleh ‘Alimul ‘allamah Al ‘Arif Billah Asy-Syeikh H. M. Zaini Abdul Ghani menuju ke tempat pelaksanaan haul tersebut. Keadaan itu sempat mencemaskan panitia pelaksana haul tersebut, namun dan tidak disangka sejak pagi harinya jalanan yang akan dilalui oleh beliau yang masih digenangi air sudah kering, sehingga dengan mudahnya beliau dan rombongan melewati jalanan tersebut; dan setelah keesokan harinya jalanan itupun kembali digenangi air sampai beberapa hari kemudian.

Banyak orang orang yang menderita sakit seperti sakit ginjal, usus yang membusuk, anak yang tertelan peniti, ibu yang sedang hamil dan bayinya jungkir (sungsang) serta meninggal dalam kandungan, di mana semua kasus ini menurut keterangan dokter harus dioperasi. Namun keluarga sisakit kemudian pergi minta didoakan oleh ‘Allimul’allamah ‘Arif Billah Asy Syekh H. M. Zaini Abdul Ghani. Dengan air yang beliau berikan kesemuanya dapat tertolong dan sembuh tanpa dioperasi.

Demikianlah di antara karamah dan kekuasaan Tuhan yang ditunjukkan kepada diri seorang hamba yang dikasihi-Nya.



Petuah

Salah satu pesan Guru Sekumpul adalah tentang karamah, yakni agar kita jangan sampai tertipu dengan segala keanehan dan keunikan. Karena bagaimanapun juga karamah adalah anugrah, murni pemberian, bukan suatu keahlian atau skill. Karena itu jangan pernah berpikir atau berniat untuk mendapatkan karamah dengan melakukan ibadah atau wiridan-wiridan. Dan karamah yang paling mulia dan tinggi nilainya adalah istiqamah di jalan Allah itu sendiri. Kalau ada orang mengaku sendiri punya karamah tapi salatnya tidak karuan, maka itu bukan karamah, tapi bakarmi (orang yang keluar sesuatu dari duburnya).



Guru Sekumpul juga sempat memberikan beberapa pesan kepada seluruh masyarakat Islam, yakni:

1. Menghormati ulama dan orang tua

2. Baik sangka terhadap muslimin

3. Murah Hati

4. Murah harta

5. Manis muka

6. Jangan menyakiti orang lain

7. Mengampunkan kesalahan orang lain

8. Jangan bermusuh-musuhan

9. Jangan tamak atau serakah

10. Berpegang kepada Allah, pada kabul segala hajat

11. Yakin keselamatan itu pada kebenaran.



Kitab yang ABAH GURU tulis

Sebelum wafat, Tuan Guru H.M. Zaini Abdul Ghani telah menulis beberapa buah kitab, antara lain:

Risalah Mubaraqah.
Manaqib Asy-Syekh As-Sayyid Muhammad bin Abdul Karim Al-Qadiri Al-Hasani As-Samman Al-Madani.
Ar-Risalatun Nuraniyah fi Syarhit Tawassulatis Sammaniyah.
Nubdzatun fi Manaqibil Imamil Masyhur bil Ustadzil a’zham Muhammad bin Ali Ba’alawy.



Wafat

Abah Guru Sekumpul sempat dirawat di Rumah Sakit Mount Elizabeth, Singapura, selama 10 hari. karena penyakit ginjal yang beliau derita. Pada hari Selasa malam, 9 Agustus 2005, sekitar pukul 20.30, Abah Guru Sekumpul tiba di Bandar Udara Syamsudin Noor, Banjarbaru, dengan menggunakan pesawat carter F-28



Pada hari Rabu , 5 Rajab 1426 H bertepatan dengan tanggal 10 Agustus 2005 pukul 05.10 pagi, Abah Guru Sekumpul menghembuskan napas terakhir dan berpulang ke rahmatullah pada usia 63 tahun di kediaman beliau sekaligus komplek pengajian, Sekumpul Martapura.

Innalillahi wa Inna Ilaihi Raaji’un, telah diangkat oleh Allah SWT ilmu melalui kewafatan seorang ulama.

Begitu mendengar kabar meninggalnya Abah Guru Sekumpul lewat pengeras suara di masjid-masjid selepas salat subuh, masyarakat dari berbagai daerah di Kalimantan Selatan berdatangan ke Sekumpul Martapura



Seluruh masyarakat Kalimantan merasa kehilangan seorang Abah Guru yang menjadi panutan, penerang dan penyuluh kehidupan umat. Kini umat Islam di Martapura dan Kalimantan Selatan umumnya, menantikan kembali, hadirnya generasi baru –ulama panutan– yang akan menggantikan atau paling tidak memiliki kharisma dan ilmu sebagaimana yang dimiliki oleh Guru Sekumpul, untuk memimpin dan membimbing umat menuju kedamaian di bawah ridha Allah SWT 



REFERENSI

- INFO LINK GURU SEKUMPUL

- Dokumen Grup PARA PENCINTA ABAH GURU SKP oleh ABAH GURU SEKUMPUL